PENGAJIAN RUTIN BULANAN – DKM Baitul Hayat
  • Hadirilah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H di Musholla Baitul Hayat, yang insyaAllah akan dilaksanakan pada Sabtu, 6 Desember 2025
Kamis, 23 Oktober 2025

PENGAJIAN RUTIN BULANAN

PENGAJIAN RUTIN BULANAN
Bagikan

Hari/Tanggal : Sabtu, 18 Okt 2025
⏰ Waktu : 19.30 – 21.00 WIB
📍 Tempat : Musholla Baitul Hayat
🎤 Mu’allim : Habib Hasan Abdul Hadi
💬 Materi : Kitab Riyadlul Badi’ah

Rukun shalat adalah sesuatu yang sahnya shalat tergantung padanya dan merupakan bagian dari shalat.

Rukun shalat ada tiga belas jika thumakninah yang jumlahnya ada empat dianggap pengikut rukun, bukan rukun tersendiri.

Pertama, niat yang disertakan dengan bagian dari takbiratul ihram. Jika shalat yang dikerjakan fardlu, maka harus ada tiga hal: tujuan melakukannya, menentukan shalatnya yaitu zuhur atau asar atau qashar dan niat kefardluan. Jika yang dikerjakan sunat, maka harus ada dua hal, yaitu tujuan melakukannya dan menentukan shalatnya. Jika yang dikerjakan shalat sunat mutlak, maka hanya harus satu hal, yaitu tujuan untuk melakukannya. Tiga Imam Mujtahid berpendapat, bahwa niat sudah cukup jika diucapkan tepat sebelum takbiratul ihram.

Kedua, berdiri dalam shalat fardlu bagi yang mampu, meski fardlu kifayah atau shalat anak-anak. Jika seseorang tidak mampu berdiri, maka harus shalat duduk bagaimanapun gayanya. Jika dia tidak mampu duduk, maka harus shalat berbaring pada pinggang kanan. Wajahnya sunat menghadap kiblat dan badannya bagian depan wajib menghadap kiblat, seperti wajibnya menghadap kiblat pada waktu dia berdiri dan duduk jika dia bisa menghadap kiblat dengan badan bagian depan. Jika tidak bisa, maka cukup dengan wajah saja, seperti disebutkan dalam At Tuhfah. Sunat berbaring pada pinggang kanan seperti orang mati di liang lahat dan makruh berbaring pada pinggang kiri apabila tidak beralasan, yakni bisa berbaring dengan pinggang kanan.

Jika dia tidak mampu berbaring meskipun menurut dia sendiri, maka harus shalat terlentang dan kepalanya harus ditinggikan dengan benda supaya bisa menghadap kiblat dengan wajah, misalnya bantal diletakkan di bawah kepalanya. Yang terbaik adalah dua lekukan kakinya menghadap kiblat seperti orang sekarat, Yang penting adalah wajah menghadap kiblat dan tidak wajib menghadap kiblat dengan selain wajah. Namun jika tidak bisa menghadap kiblat dengan wajah, maka harus menghadap kiblat dengan sebagian badan, Dia juga harus duduk untuk ruku’ dan sujud apabila mampu, Apabily masih tidak mampu ruku’ sujud dengan duduk, maka harus isyarat ruku’ sujud dengan kepala dengan cara mendekatkan kening ke tanah semampunya. Sujud harus lebih rendah daripada ruku’, yakni menambah isyarat untuk ruku’.

Apabila tidak mampu isyarat dengan kepala, maka harus isyarat dengan kelopak mata. Namun di sini tidak wajib isyarat sujud lebih rendah daripada isyarat ruku’, sebab tidak ada perbedaan dalam isyarat dengan mata.

Apabila tidak mampu, maka harus menjalankan rukun shalat dalam hati, yaitu dengan membayangkan dirinya berdiri, membaca Al Fatihah dan ruku’, sebab hal tersebut mudah. Dia tidak wajib mengulangi shalatnya setelah itu. Madzhab Abu Hanifah dan Malik adalah jika sescorang tidak mampu berisyarat dengan kepala, maka shalat gugur darinya. Imam Malik berkata: “Orang tersebut tidak wajib mengulangi shalatnya.” Namun menurut Abu Hanifah, orang itu harus menggadia shalat tadi jika ada lima waktu atau kurang. Jika lebih dari lima waktu, maka tidak wajib qadla.

Pahala sama sekali tidak berkurang dalam seluruh shalat tersebut sebab berhalangan.

Orang yang mampu berdiri diperbolehkan shalat sunat dengan duduk dan berbaring, baik sunat rawatib atau lainnya. Duduknya bebas, namun yang terbaik adalah iftirasy dan yang terbaik dari berbaring adalah berbaring pada pinggang kanan. Tidak boleh shalat denga! terlentang, sebab tidak diriwayatkan, meskipun menyempurnaka ruju’ sujud. Orang yang shalat berbaring harus duduk untuk ruku’ dan sujud dengan sempurna.

Namun pahala orang duduk setengah pahala orang berdiri dan pahala orang berbaring setengah dari orang duduk. Ini berlaku untuk orang yang mampu dan bagi selain Nabi Muhammad saw.

Ketiga, takbiratul ihram. Takbir ini harus menggunakan kata (.        ) dan tidak boleh menggunakan kata lain bagi yang mampu. Yang tidak mampu mengucapkan (       ) dengan bahasa Arab, boleh menggunakan bahasa non Arab, namun tidak boleh beralih ke zikir yang lain. Dia harus mempelajari (       ) meskipun dengan merantau. Orang yang tidak mengucapkan (   ) dengan bahasa Arab dan belum mungkin belajar seketika, harus menerjemahkan kata tersebut dengan bahasa apapun, meskipun bukan bahasanya. Yang terbaik adalah menerjemahkannya dengan bahasa Persia sebab lebih mudah, sebagaimana ditegaskan Guru kami, Yusuf As Sanbalawini. Namun Guru kami Ahmad An Nahrawi menegaskan, bahwa yang terbaik adalah dengan bahasa Suryani, sebab mayoritas kitab Samawi menggunakan bahasa Suryani.

Sunat membaca doa iftitah setelah takbir ini, misalnya ucapan:

 “Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan memiji-Mu. Berkah hama-Mu, tinggi keagungan-Mu dan tak ada tuhan selain Engkau.”

Lalu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk, misalnya mengucapkan:

“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

Keempat, membaca Al Fatihah termasuk basmalah yang jumlah ayatnya ada tujuh dalam tiap berdiri raka’at atau penggantinya, di antaranya berdiri kedua pada shalat gerhana. Rukun ini bagi orang yang shalat munfarid (shalat sendirian) dan lainnya, baik dalam shalat jahr (shalat yang Fatihahnya keras) maupun shalat sirr (shalat yang Fatihahnya pelan). Membaca Fatihah bisa dilakukan dengan hafalan atau dibimbing atau melihat tulisan.

Makmum masbuk Fatihahnya ditanggung oleh imam apabila imam layak menanggungnya, yaitu imam tidak hadas, tidak umi, tidak berada dalam raka’at tambahan dan tidak berada dalam ruku’ kedua dari shalat gerhana. Masbuk adalah makmum yang tidak mendapat waktu yang cukup untuk membaca Fatihah bersama imam menurut orang yang bacaannya normal, bukan menurut bacaannya sendiri menurut pendapat yang kuat.

Imam Abu Hanifah, para muridnya, Imam Malik dan Imam Ahmad sepakat, bahwa shalat makmum sah meskipun tidak membaca apa-apa, sebab Nabi saw bersabda:

“Kamu dicukupi oleh bacaan imam, baik dia membaca keras maupun pelan.”

Fatihah harus urut sesuai dengan urutannya yang dikenal dar berturut-turut, yaitu setiap kata ditemukan dengan kata lain tanpa dipisah, kecuali untuk nafas dan istirahat. Jika dipisah untuk bernafas atau karena istirahat, maka tidak mengapa, meskipun lama. Jika bacaan Fatihah dipisah oleh zikir lain yang tidak berhubungan dengan shalat, misalnya orang bersin membaca hamdalah, maka berturut-turutnya batal dan bacaan harus diulangi. Namun jika hal itu terjadi karena lupa, maka tidak apa-apa dan boleh meneruskan bacaan Fatihah.

Setiap huruf harus dibaca dengan tajwid (baik) dan lengkap tasydidnya yang berjumlah empat belas. Jika seseorang salah dalam membacanya dengan kesalahan yang merubah makna, misalnya kata (.  ) dibaca (.   ) dan dia bisa belajar, maka shalatnya batal. Apabila kesalahan itu tidak merubah makna, misalnya (.   ) dibaca (.    ), maka sah shalatnya namun haram jika sengaja.

Apabila seseorang tidak bisa membaca Fatihah, maka sebagai gantinya dia harus membaca tujuh ayat dari Al-Qur’an, meskipun terpisah, baik dari satu surat atau dari beberapa surat, meskipun tidak menunjukkan arti yang rapi. Apabila tidak mampu, maka dia harus membaca tujuh macam zikir, misalnya tasbih dan tahlil sebagaimana dikatakan Al Baghawi. Namun Imam Haramain tidak sependapat dan berkata: “Tidak harus tujuh macam zikir.” Pengganti Fatihah, baik ayat Al-Qur’an maupun zikir, hurufnya tidak boleh kurang dari huruf Fatihah, termasuk idghamnya.

Apabila tidak mampu, maka dia harus berdiri diam selama waktu untuk membaca Fatihah menurut huruf yang diucapkan bagi bacaan yang sedang. Dia tidak boleh menerjemah Fatihah dengan bahasa selain Arab, sebab terjemah menghilangkan kemukjizatan Al-qur’an.

Sunat membaca surat dari Al-qur’an setelah Fatihah minimal tiga ayat seperti surat Al Kautsar atau kurang dari satu ayat dengan Syarat bermakna pada shalat yang jumlah raka’atnya dua, seperti Jum’at dan subuh dan pada dua raka’at pertama dari shalat yang Jumlah raka’atnya tiga seperti maghrib atau empat seperti isya’. Dua Surat yang dibaca disunatkan sesuai urutan mushaf. Jika pada rakaat pertama yang dibaca surat An Nas, maka pada raka’at kadua yang dibaca permulaan surat Al Baqarah. Jika makmum masbuq tertinggal dua raka’at, maka pada dua raka’at terakhir dia sunat membaca surat, Sedang pada shalat maghrib, dia sunat mengulangi surat tersebut dua kali, sebab pada dua raka’at pertama dia tidak membaca surat.

Kelima, ruku’ disertai thumakninah, sehingga anggota-anggota badan diam sebelum mengangkat kepala dari ruku’ untuk I’tidal, Kewajiban ruku’ bagi orang berdiri adalah membungkuk setelah Fatihah, sehingga dua telapak tangan sampai pada dua lutut apabila pelaku shalat sedang tangan dan lututnya. Sunat dalam ruku meratakan antara punggung dan leher sehingga bagaikan satu papan, menegakkan kedua betis, memegang dua lutut dengan tangan dan merenggangkan jari-jari tangan ke arah kiblat. Yang dimaksudkan adalah tidak menyerongkan jari-jari ke arah kanan atau kiri.

Minimal ruku’ bagi orang duduk adalah keningnya sejajar dengan depan lututnya, sedangkan ruku’ maksimal baginya adalah kening sejajar dengan tempat sujud.

Saat ruku’ sunat mengucapkan:

“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung.”

Minimal sempurna adalah tiga kali. Jika lebih dari tiga kali, maka lebih baik, kecuali jika menjadi imam, makruh lebih dari tiga kali, kecuali jika para makmum setuju.

Keenam, i’tidal disertai thumakminah sehingga anggota-anggota badan diam sebelum turun untuk sujud. Ibnu Mugri berpendapat, bahwa i’tidal dalam shalat sunat bukan rukun. Berdiri antara ruku’ dan sujud bukan fardlu menurut Abu Hanifah dan Muhammad muridnya. Abu Yusuf berkata: “Berdiri tersebut adalah fardlu dan shalat tidak sah jika tidak dilakukan.”

Kewajiban i’tidal adalah kembali setelah ruku’ kepada keadaan sebelumnya, yaitu berdiri atau duduk. Jika seseorang ruku’, dari berdiri, lalu dia jatuh dari ruku’nya sebelum thumakninah, maka dia harus kembali ruku’ disertai thumakninah, lalu i’tidal. Jika dia jatub dari ruku’ setelah thumakninah, maka dia harus bangkit i’tidal, lalu sujud.

Saat bangun dari ruku’ sunat mengucapkan:

“Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya.”

Yakni semoga Allah menerima pujian orang tersebut. Setelah i’tidal tegak, sunat mengucapkan:

“Tuhan kami, bagi-Mu segala puji dengan puji yang besar, banyak, suci, diberkahi, memenuhi langit, memenuhi bumi dan memenuhi sesuatu selain keduanya.”

Imam sunat mengeraskan bacaan (.    ) dan memelankan bacaan (.       ). Sedangkan munfarid dan makum, membaca keduanya dengan pelan.

Sunat juga membaca doa qunut pada i’tidal rakaat terakhir dari subuh setiap hari meskipun gadla setelah mengucapkan zikir pada i’tidal di atas. Demikian juga shalat witir setengah bulan kedua Ramadhan, yakni pada i’tidal witir akhir pada bulan tersebut. Qunut dapat dilakukan dengan membaca ucapan yang mengandung doa dan memuji Allah, misalnya:

“Ya Allah, ampunilah aku wahai pemberi ampun.”

Adapun doa qunut yang masyhur yaitu:

“Ya Allah, tunjukkanlah aku beserta orang yang Engkau beri petunjuk. Sembuhkanlah aku beserta orang yang Engkau sembuhkan. Kasihilah aku beserta orang yang Engkau kasihi. Berkahilah aku pada apa yang Engkau berikan. Jauhkanlah aku dari keburukan sesuatu yang Engkau putuskan. Sesungguhnya Engkau memutuskan dan tidak diputuskan. Sesungguhnya tidak hina orang yang Engkau kasihi dan tidak mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Tuhan kami dan Maha Tinggi. Maka bagi-Mu segala puji atas apa yang Engkau putuskan dan Engkau beri petunjuk. Aku memohon ampun pada-Mu ya Allah dan bertaubat kepada-Mu. Bershalawatlah ya Allah kepada junjungan kami Muhammad Nabi yang umi yang dengannya Engkau menyelamatkan dari neraka dan dengannya Engkau memberi petunjuk dari kesesatan. Dan kepada keluarga junjungan kami Muhammad dan sahabatnya dan berikan keselamatan. Tuhanku, ampunilah dan rahmatilah dan Engkau Pemberi rahmat terbaik.”

Ketujuh, sujud dua kali pada tiap raka’at disertai thumakninah, yaitu anggota-anggota badan tenang sebelum kepala diangkat dari sujud. Hanya sujud yang diulangi untuk membuat setan geram, sebab setan diperintah untuk bersujud kepada Adam, namun dia menolak. Di samping itu, sujud menunjukkan tawadhu” yang sempurna, yaitu kening diletakkan pada tempat berpijak telapak kaki dengan harapan doa diterima oleh Allah.

Anggota badan sujud ada tujuh:

Pertama, kening dan harus terbuka. Cukup sebagian dari kening saja, meskipun sedikit sekali, meski makruh. Orang yang shalat boleh sujud di atas sapu tangan di tangannya, meskipun diikatkan menurut pendapat Al Hifni.

Kedua dan ketiga, dua lutut.

Keempat dan kelima, bagian dari bagian dalam kedua tangan. Yang diperhitungkan adalah bagian dalam telapak tangan, yaitu yang membatalkan wudlu jika digunakan untuk menyentuh, baik jani maupun telapak tangan.

Keenam dan ketujuh, bagian dalam dari ujung dua telapak kaki, meskipun dari satu jari saja.

Ketujuh, anggota badan tersebut harus diletakkan secara bersamaan di atas tempat shalat.

Dalam sujud juga disyaratkan badan bagian bawah yaitu pantat dan Sekitarnya diangkat di atas badan bagian atas, yaitu kepala, pundak dan telapak tangan. Kepala harus ditekan, sampai berat kepala terasa, Yakni seandainya dia sujud di atas kapas, maka kapas itu membekas oleh tekanan kepala.

Sujud terbaik adalah mengucapkan takbir untuk turun tanpa mengangkat tangan. Takbir dimulai saat turun dan diakhiri saat akhir turun. Dua lutut diletakkan renggang kira-kira sejengkal, lalu dua telapak tangan dalam keadaan terbuka sejajar dengan dua pundak, sementara jari-jarinya direnggangkan dan menghadap kiblat, Kemudian letakkan kening dan hidung secara bersamaan. Dua telapak kaki direnggangkan kira-kira sejengkal dalam keadaan terbuka jika tidak perlu menutupnya karena dingin cuaca. Menutup telapak kaki dan telapak tangan tidak makruh.

Saat sujud sunat mengucapkan:

“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi dan dengan memijiNya.”

Minimal sempurna adalah tiga kali. Jika lebih dari tiga, maka lebih baik. Sunat menambahi zikir tersebut dengan zikir:

“Maha Suci, Maha Suci, Tuhan para malaikat dan Jibril.”

Khusus munfarid, dianjurkan untuk menambahkan zikir:

“Diriku sujud kepada Tuhan yang menciptakannya, mbentuknya, membelah telinganya dan membelah matanya. Maha Suci Allah, Pencipta terbaik.”

Zikir ini diriwayatkan dari Ali dan disunatkan menurut ulama madzhab Syafi’i. Sedangkan menurut ulama madzhab Hanafi, zikir ini khusus untuk shalat tahajud.

Sunat juga memperbanyak doa saat sujud, sebab Muslim neriwayatkan sabda Nabi saw:

“Paling dekatnya hamba kepada Tuhannya adalah saat dia sujud. Maka perbanyaklah doa.”

Kedelapan, duduk di antara dua sujud disertai thumakminah, yakni bangun dan turunnya terpisah. Ibnu Mugri berpendapat, bahwa dalam shalat sunat duduk antara dua sujud bukan rukun. Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah berkata: “Jika lebih dekat ke duduk, maka sah. Jika lebih dekat ke tanah, maka duduk tidak sah.”

Pada duduk ini, sunat mengucapkan:

“Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, angkatlah aku, tamballah aku, berilah aku rezeki, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan maafkanlah aku. Tuhanku, berilah aku hati yang takwa, suci, bebas dari syirik, tidak kafir dan tidak celaka.”

Doa ini tidak khusus bagi munfarid.

Rukun Selanjutnya, InsyaAllah akan dilanjutkan pada pertemuan berikutnya

SelanjutnyaPENGAJIAN RUTIN BULANAN UMMAHAT